Sebagian besar pemain mengaku tidak merasakan sakit di tubuh mereka yang memar dan luka serta mengeluarkan darah akibat sabetan lidi itu.
Meski kedua desa itu memiliki pertalian hubungan persaudaraan, tetapi ritual adat pukul sapu memiliki nilai histori yang berbeda satu dengan lainnya.
Awal mula tradisi pukul sapu
Konon, upacara adat Pukul Sapu di Morella merujuk pada perjuangan Achmad Leakawa berjuluk Kapitan (pimpinan perang) "Telukabessy" beserta anak buahnya saat ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M). Perang ini dipantik oleh pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon pada tahun 1636 M.
Perang semakin tak terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, milik warga Maluku, dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru.
Dalam perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan darat yang didukung tembakan meriam dari kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morella dan Mamala tersebut dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun, anak buahnya banyak yang berhasil ditangkap. Sebagian dari mereka kemudian dijadikan tawanan di Teluk Sewatelu dan sebagiannya lagi dibuang ke Batavia (sekarang Jakarta).
Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit, yaitu antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijden pada tanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Kapitan Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria, Ambon pada tanggal 27 September 1646.
Setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sewatelu, anak buah Kapitan Telukabessy dibebaskan Belanda. Sebelum berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang heroik dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah serta ritual pukul sapu.
Tujuan acara pukul sapu adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.
Sementara di Desa Mamala, tradisi ini dilakukan secara turun-temurun untuk mengenang keberhasilan warga desa setempat membangun Masjid tanpa menggunakan paku pada abad 17.
Konon usai perang Kapahaha (1637-1646), rakyat Mamala diperintahkan Belanda untuk turun dari gunung (negeri mamala lama) dan mendirikan kampung di pesisir bersama masjid agar mudah diawasi.
Saat membangun mesjid warga kesulitan menyambung kayu-kayunya menyebabkan pekerjaannya terbengkalai. Imam Tuni, eorang tokoh agama saat itu kemudian melakukan puasa selama beberapa hari untuk memperoleh petunjuk yang diberikan dalam mimpinya saat tidur.
Dalam mimpinya, Imam Tuni disuruh menyambung kayu-kayu tersebut dengan menggunakan minyak "Nyualaing Matetu" atau yang lebih dikenal dengan minyak "Tasala".
Minyak ini kemudian digunakan untuk membasahi potongan kain putih yang digunakan menyambung kayu yang digunakan untuk membangun masjid.
Hal ini dapat dibuktikan saat pembongkaran mesjid tua di Desa itu, di mana ditemukan potongan kain putih pada setiap sambungan kayu dan tiang dan tidak menggunakan Ping atau paku. Satu-satunya kayu yang menggunakan paku adalah Tiang Alif pada masjid tua itu.
Keberhasilan ini kemudian dirayakan dengan memilih waktu tepat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW untuk dilaksanakan yakni hari raya ketujuh atau 7 Syawal setelah Idul Fitri dengan tradisi Pukul Sapu.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait