get app
inews
Aa Text
Read Next : Waspada Siklon 97S, Hujan Lebat serta Gelombang Tinggi Intai Maluku dan NTT

Tradisi Pukul Sapu di Maluku, Budaya Luhur Mengenang Kisah Para Pejuang

Rabu, 08 Februari 2023 - 16:13:00 WIT
Tradisi Pukul Sapu di Maluku, Budaya Luhur Mengenang Kisah Para Pejuang
Tradisi pukul sapu yang dillakukan secara turun temurun untuk mengenang kisah para pejuang Maluku. (Foto : Antara)

JAKARTA, iNews.id - Mengenal tradisi pukul sapu yang menjadi kebudayaan warga Desa Mamala dan Morela, Kecamatan Leihitu, Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Provinsi Maluku. Tradisi ini merupakan budaya luhur sebagai pengingat untuk mengenang para pejuang di Maluku dalam perlawanan saat masa penjajahan.

Mereka menggunakan sapu lidi yang terbuat dari pohon enau. Sapu yang biasanya digunakan membersihkan halaman dengan bentuk ramping dan kecil, namun batangnya dapat menimbulkan sakit jika dipukul ke tangan, kaki atau anggota tubuh lain.

Kendati demikian berbeda dengan warga setempat. Meski dipukul berkali-kali dengan batang lidi yang dalam bahasa Maluku disebut pohon mayang hingga menimbulkan guratan merah di tubuh bahkan mengeluarkan darah, hal tersebut sudah biasa dan lumrah dalam menjalankan tradisi ini.

Kebiasaan saling memukul atau baku pukul dengan sapu lidi ini merupakan salah satu tradisi unik masyarakat bertetangga dan yang memliki pertalian hubungan saudara. Mereka mengenalnya dengan ritual adat 'Pukul Sapu'.

Ritual adat tergolong ekstrem di desa yang terletak di bagian Timur Pulau Ambon tersebut. Biasanya, tradisi ini digelar setiap tahun saat perayaan 7 Syawal setelah umat Muslim selesai merayakan Idul Fitri.

Tradisi ini pun telah dilakukan dan terus dilestarikan sejak abad 16 atau di masa penjajahan Portugis dan Belanda.

Di Desa Morella, adat pukul sapu ini tidak hanya diikuti pemuda atau orang dewasa. Ada babakan tersendiri yang dikhususkan pesertanya anak-anak.

Jumlah peserta ritual adat ini sebenarnya tidak dibatasi, tetapi disesuaikan dengan kondisi arena yang dipersiapkan. Di Desa Morella jumlah pesertanya dibatasi 60 pemuda yang bertelanjang dada lalu dibagi tiga kelompok atau masing-masing 20 orang per kelompok.

Masing-masing kelompok juga dibagi menjadi dua regu. Mereka hanya menggunakan celana pendek dan berikat kepala. Setiap regu hanya dibedakan warna celana yang digunakan yakni merah dan kuning atau hitam dan kuning.

Sementara di Desa Mamala, satu kelompok pemuda dibatasi 20 orang hingga 30 orang karena lokasi arenanya lebih luas. Kelompok masing-masing dibedakan warna celana merah dan putih.

Sehari sebelum ritual adat dilakukan, para pemain harus dikumpulkan dalam rumah adat masing-masing untuk melakukan upacara adat dan berdoa meminta pertolongan dan restu sang pencipta serta para leluhur.

Jalannya tradisi pukul sapu

Para peserta dengan memegang dua ikat lidi mentah yang baru dipotong dari pohon aren memasuki arena. Kemudian seorang tokoh adat di kedua desa akan bertindak sebagai wasit.

Dengan peluitnya, sang wasit memandu jalannya atraksi saling memukul antarkedua kelompok yang saling berhadap-hadapan.

Saat seruling berbunyi kelompok bercelana merah atau hijau dipersilahkan lebih dahulu untuk memukul kelompok bercelana putih atau kuning.

Begitu pun sebaliknya saat seruling dibunyikan lagi, giliran kelompok bercelana putih dan kuning yang menyerang dan memukul kelompok bercelana merah dan hijau.

Sabetan lidi yang mengenai badan lawan mengeluarkan bunyi cukup keras menyerupai lecutan cambuk. Terkadang tiga batang lidi yang digunakan sudah hancur hanya dalam hitungan dua atau tiga kali sabetan saja.

Pukulan lidi berkali-kali mengakibatkan guratan merah memanjang sekujur tubuh para pemain. Sebagian besar malah mengeluarkan darah. Bahkan tidak jarang potongan batangan lidi pun turut tertancap pada kulit dan luka di tubuh para pemain.

Uniknya, tidak sedikit pun terlihat atau terdengar erangan dan jerit kesakitan para pemain akibat dipukul dengan lidi. Mereka malah sebaliknya terlihat ketagihan untuk dipukul berulang kali.

Atraksi ini tentunya membuat gemetar dan ngeri pengunjung yang baru pertama kali menyaksikannya. Tidak jarang warga atau wisatawan yang berada paling dekat dengan arena atraksi harus meringis merasakan kesakitar akibat terkena sabetan batang lidi para pemain.

Sebagian besar pemain mengaku tidak merasakan sakit di tubuh mereka yang memar dan luka serta mengeluarkan darah akibat sabetan lidi itu.

Meski kedua desa itu memiliki pertalian hubungan persaudaraan, tetapi ritual adat pukul sapu memiliki nilai histori yang berbeda satu dengan lainnya.

Awal mula tradisi pukul sapu

Konon, upacara adat Pukul Sapu di Morella merujuk pada perjuangan Achmad Leakawa berjuluk Kapitan (pimpinan perang) "Telukabessy" beserta anak buahnya saat ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M). Perang ini dipantik oleh pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon pada tahun 1636 M.

Perang semakin tak terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, milik warga Maluku, dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru.

Dalam perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan darat yang didukung tembakan meriam dari kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morella dan Mamala tersebut dapat dikuasai oleh Belanda.

Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun, anak buahnya banyak yang berhasil ditangkap. Sebagian dari mereka kemudian dijadikan tawanan di Teluk Sewatelu dan sebagiannya lagi dibuang ke Batavia (sekarang Jakarta).

Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit, yaitu antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijden pada tanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Kapitan Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria, Ambon pada tanggal 27 September 1646.

Setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sewatelu, anak buah Kapitan Telukabessy dibebaskan Belanda. Sebelum berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang heroik dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah serta ritual pukul sapu.

Tujuan acara pukul sapu adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.

Sementara di Desa Mamala, tradisi ini dilakukan secara turun-temurun untuk mengenang keberhasilan warga desa setempat membangun Masjid tanpa menggunakan paku pada abad 17.

Konon usai perang Kapahaha (1637-1646), rakyat Mamala diperintahkan Belanda untuk turun dari gunung (negeri mamala lama) dan mendirikan kampung di pesisir bersama masjid agar mudah diawasi.

Saat membangun mesjid warga kesulitan menyambung kayu-kayunya menyebabkan pekerjaannya terbengkalai. Imam Tuni, eorang tokoh agama saat itu kemudian melakukan puasa selama beberapa hari untuk memperoleh petunjuk yang diberikan dalam mimpinya saat tidur.

Dalam mimpinya, Imam Tuni disuruh menyambung kayu-kayu tersebut dengan menggunakan minyak "Nyualaing Matetu" atau yang lebih dikenal dengan minyak "Tasala".

Minyak ini kemudian digunakan untuk membasahi potongan kain putih yang digunakan menyambung kayu yang digunakan untuk membangun masjid.

Hal ini dapat dibuktikan saat pembongkaran mesjid tua di Desa itu, di mana ditemukan potongan kain putih pada setiap sambungan kayu dan tiang dan tidak menggunakan Ping atau paku. Satu-satunya kayu yang menggunakan paku adalah Tiang Alif pada masjid tua itu.

Keberhasilan ini kemudian dirayakan dengan memilih waktu tepat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW untuk dilaksanakan yakni hari raya ketujuh atau 7 Syawal setelah Idul Fitri dengan tradisi Pukul Sapu.

Editor: Donald Karouw

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut