get app
inews
Aa Text
Read Next : 5 Lagu Bahasa Madura Viral, Unik dan Menghibur

Suku Buton: Asal Usul, Bahasa hingga Kasta

Selasa, 06 September 2022 - 14:39:00 WIT
Suku Buton: Asal Usul, Bahasa hingga Kasta
Suku Buton merupakan salah satu suku di Indonesia yang mendiami Sulawesi Tenggara (Sultra), tepatnya di Pulau Buton. (Foto: kebudayaan.butonkab.go.id).

SULTRA, iNews.id - Suku Buton merupakan salah satu suku di Indonesia yang mendiami Sulawesi Tenggara (Sultra), tepatnya di Pulau Buton. Selain itu, masyarakat suku Buton juga tersebar di beberapa wilayah seperti Maluku Utara, Kalimantan, Riau dan Papua.

Selain itu, termasuk suku pelaut seperti kebanyakan suku yang ada di Sulawesi. Masyarakat suku Buton sejak dulu telah merantau ke seluruh pelosok nusantara dari yang hanya menggunakan perahu berukuran kecil dengan kapasitas lima orang hingga perahu besar yang dapat memuat barang seberat 150 ton. 

Sejarah dan asal usul suku Buton

Berdasarkan buku berjudul 'Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton' yang diterbitkan oleh Kemdikbud, disebutkan, nenek moyang penduduk Buton termasuk dalam ras Deutro Melayu. Penyebarannya dimulai dari daratan Asia melalui Annam, Tonkin, Indocina, Kamboja dan terus ke Asia Tenggara Kepulauan.

Namun, masyarakat setempat memiliki cerita-cerita rakyat mengenai asal-usul nenek moyang mereka. Nenek moyang suku Buton berasal dari imigran yang datang dari Semanaajung Johor di Malaka sekitar abad 15 dan kemudian mendirikan kerajaan Buton. 

Kerajaan tersebut bertahan hingga 1960, sultan terakhir meninggal dunia. Sepeninggalan sultan terakhir tersebut membuat tradisi kepulauan Buton tercerai berai.

Empat tokoh pertama yang datang ke Pulau Buton dari Semenanjung Johor kemudian menjadi nenek moyang Suku Buton, yaitu Sipanjonga, Sitamanajo, Sijawangkati dan Simalui. 

Cerita yang beredar di masyarakat setempat menyebutkan, permukiman pertama keempat tokoh pendiri kerajaan Buton berada di daerah Kalampa di Desa Katobengke, Bau-bau. Daerah inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal wilayah kesultanan Buton.

Di Desa Katobengke, mereka membabat ilalang untuk mendirikan tempat tinggal. Pekerjaan membabat ilalang ini disebut "Welia" yang kemudian berubah menjadi Wolio sehingga penduduk daerah itu disebut orang Wolio. Kemudian dalam perkembangannya menjadi Kerajaan Buton-Wolio.

Selanjutnya, mereka bergabung dengan Kerajaan Tobe-tobe yang ada di daerah timur. Makin lama Buton terus berkembang dengan berdirinya permukiman-permukiman baru di sekitar Kalampa dan Wolio. Pemukiman-pemukiman itu berkembang menjadi kampung yang dikenal dengan Kampung Gundu-gundu dan Barangkatopa.

Seiring waktu, wilayah kekuasaan Kerajaan Buton semakin meluas. Mereka mendirikan permukiman-permukiman baru yang dikenal dengan nama Kampung Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Pemimpin kampung tersebut kemudian diangkat menjadi menteri (bonto).

Selanjutnya dibentuk dua kampung lagi dengan nama Peropa dan Baluwu. Sudah ada empat menteri (bonto) pada masa awal terbentuknya Kerajaan Buton.

Berikut nama-nama kampung dan menterinya yang ada pada awal terbentuknya kerajaan Buton:

1. Wilayah Barangkatopa dikepalai Bonto Sitamanajo.

2. Wilayah Gundu-gundu dikepalai Bonto Sijawangkati.

3. Wilayah Peropa dikepalai Bonto Betoambari.

4. Wilayah Baluwu dikepalai Bonto Sangiariarana.

Keempat Bonto atau menteri ini membentuk lembaga pemerintahan yang disebut patalimbona. Patalimbona terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya wilayah kekuasaan pemerintahan kerajaan Buton. 

Menteri yang ada di Kesultanan Buton terus bertambah hingga menjadi sembilan menteri. Selanjutnya dikenal sebagai siolimbona yang artinya sembilan menteri utama.

Sistem kasta

Masyarakat Suku Buton menganut sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakatnya. Sistem ini telah diterapkan sejak kerajaan Buton berdiri. Sistem kasta yang hanya diterapkan pada sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja. 
Berikut sistem kasta pada Suku Buton:

1. Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja atau Sultan dipilih dari golongan ini.

Walaka, (elit penguasa), yaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di Kerajaan seperti menteri dan dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang akan menjadi Raja atau Sultan berikutnya.

2. Papara atau disebut masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. 

Mereka dapat dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.

3. Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain atau memiliki utang. Mereka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah.

4. Analalaki dan Limbo. 

Merupakan golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya.

Bahasa

Masyarakat Suku Buton memiliki bahasa daerah beragam. Hingga kini dapat ditemui lebih dari 30-an bahasa daerah dengan berbagai macam dialek. Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat ditemukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Buton.

Pada perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta mulai digantikan oleh bahasa Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M. 

Banyaknya penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menunjukkan tingginya pengaruh Islam dalam Kesultanan Buton. Selain itu bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa melayu. 

Berikut beberapa bahasa yang digunakan Suku Buton : 

1. Wolio

2. Cia-Cia

3. Pancana

4. Kulisusu

5. Busoa

6. Kaimbulawa

7. Kamaru

8. Binongko

9. Wanci
10. Kaledupa

11. Tomia

Kepercayaan suku Buton 

Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Suku Buton mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). 

Masuknya agama Hindu maupun Islam mendorong masyarakat Suku Buton untuk mulai menganut agama tersebut. Namun, mereka tidak meninggalkan kepercayaan asli, seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. 

Contohnya, masyarakat nelayan Wakatobi khususnya masyarakat Tomia mengenal adanya Dewa laut Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi lautan Banda yang terkenal ganas. 

Selain itu, masyarakat Buton juga mengenal Dewa yang melindungi keberadaan hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam****. Namanya tidak boleh disebutkan atau hanya diucapkan dengan cara berbisik.

Masuknya Islam ke Buton pada abad ke-15 yang dibawa seorang ulama berkebangsaan Arab yang berasal dari Semenanjung Melayu (Johor) bernama Syeikh Abdul Wahid juga telah meletakkan dasar-dasar Ilmu Fiqih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton. 

Ilmu Fiqih merupakan ilmu Islam yang mempelajari hukum dan peraturan tentang hak dan kewajiban umat terhadap Allah SWT dan sesama manusia sehingga masyarakat Buton dapat hidup sesuai kaidah Islam. 

Kemudian, pada abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton, yang dibawa oleh Sufi yang berasal dari Aceh.

Budaya dan tradisi suku Buton

Mayoritas masyarakat Suku Buton beragama Islam sehingga tradisi-tradisi serta budayanya sangat dipengaruhi oleh Islam. Salah satu tradisi budaya yang cukup populer dari Suku Buton, yakni tradisi kande-kandea yang masih dilakukan hingga hari ini.

Bersumber dari laman resmi Kemdikbud.go.id, tradisi kande-kandea merupakan tradisi makan bersama yang umum dilakukan oleh Masyarakat Buton. Biasanya tradisi ini dilakukan pada perayaan hari-hari besar seperti Idul Fitri.

Pada zaman dulu, tradisi ini dilakukan untuk menyambut pulangnya para prajurit laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Apabila laskar pulang membawa kemenangan, sehingga upacara ini akan diadakan lebih meriah lagi. 

Para gadis akan menyuapkan makanan ke anggota laskar sebagai penghargaan atas perjuangan di medan laga.  

Berikut budaya dan tradisi masyarakat suku Buton : 

1. Goraana Oputa/Maludju Wolio, yaitu ritual masyarakat Buton dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap tengah malam Tanggal 12 Rabiul awal.

2. Qunua, yaitu ritual keagamaan yang dilakukan masyarakat Buton pada 16 malam bulan Ramadhan.

3. Tuturangiana  Andaala yaitu Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di Pulau Makasar (liwuto) kepada Allah SWT,  atas keluasan rezeki yang terhampar luas di sektor kelautan

4. Mataa, yaitu ritual adat yang digelar masyarakat Buton etnik cia-cia di desa Laporo yang merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang diperoleh.

5. Karia, yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk menyambut anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat, bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual.

Posuo (pingit) yaitu pesta adat masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum perempuan yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.

6. Kemudian, Kabuenga, Haroa, Sambura’e dan masih banyak lainnya. 

Peninggalan sejarah kebudayaan Suku Buton 

Suku Buton terkenal dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, seperti Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan masih banyak lagi.

Editor: Kurnia Illahi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut