get app
inews
Aa Text
Read Next : Gempa Boltim M5,3 Terasa hingga Kepulauan Sula Maluku, Ini Analisis BMKG

Sejarah Rempah-Rempah Maluku, Aroma Kebangsawanan hingga Santapan Para Dewa

Selasa, 08 November 2022 - 16:45:00 WIT
Sejarah Rempah-Rempah Maluku, Aroma Kebangsawanan hingga Santapan Para Dewa
Rempah-rempah Maluku yang punya kisah sejarah panjang di masa lampau dan dikenal sebagai aroma Tuhan. (Foto : Freepik)

JAKARTA, iNews.id - Maluku dengan hasil rempah-rempahnya (Pala dan cengkeh) pernah menjadi surga dan tujuan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Bahkan secara berlebihan, para pelaut di masa lampau mengungkap aroma rempah Maluku sudah dapat tercium sepanjang puluhan mil sebelum mereka berlabuh di kepulauan tersebut.

Rempah Nusantara, khususnya rempah Maluku menjadi sejarah panjang dan fantastis tentang sebuah aroma bagi kehidupan manusia. Cita rasanya mendasari para penjelajah menempuh bahaya dan risiko kehilangan nyawa untuk menemukan pulau di Nusantara tersebut.

Dikutip dari jalur rempah Kemdikbud menyebutkan ,di masa lalu kerajaan-kerajaan imperialis Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda di Asia dibangun atas dasar pencarian rempah-rempah Maluku. Sebab hanya di pulau-pulau kecil vulkanis itulah pala dan cengkeh tumbuh, sedangkan di tempat lain tidak ditemukan kedua tanaman tersebut.

Tomé Pires dalam Suma Oriental menyebut pedagang-pedagang Melayu mengatakan, Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk buah pala dan Maluku untuk cengkeh. Barang perdagangan ini tidak dikenal di lain tempat di dunia ini, kecuali di tempat-tempat yang disebut tadi.

Namun wajah penasaran para penjelajah seketika berubah menjadi rakus yang tergambar dalam ekspresi kolonialisme dan imperialisme juga kapitalisme. Aroma dan cita rasa yang menjadi sumber kenikmatan surgawi bagi mereka, justru berbanding terbalik menjadi sumber kesengsaraan dan penderitaan yang mengakibatkan wilayah Nusantara masuk ke dalam lembah kelam.

Terlepas dari segala ambisi para penjelajah dalam menguasai komoditas yang berharga, juga faktor kelangkaan dan tingkat kesulitan yang tinggi untuk memperolehnya, rempah memang menjadi primadona selama berabad-abad. 

Dari tempat asalnya di pulau-pulau kecil tropis dan vulkanis (Ternate, Tidore, Makian, Moti dan Bacan serta Banda Neira) pala, fuli dan cengkeh mengalir ke pasar Venezia, Belgia dan London melewati jalur yang berliku-liku, mengelilingi setengah bumi, dibawa manusia dari berbagai suku, bangsa, bahasa yang berbeda. Sebuah perjalanan panjang yang ditempuh pemilik aroma surgawi.

Jamuan para Bangsawan dan Santapan para Dewa

John dari Hautevile dalam Archithrenius pernah menulis 'Kebangsawanaan dinilai dari kemewahan sebuah meja makan dan oleh cita rasa yang terpuaskan lewat pengeluaran yang besar'. Nyatanya hal ini sangat tergambar bagaimana rempah menjadi jamuan bangsawan yang dinilai super mewah, tidak hanya karena cita rasanya namun juga aromanya.

Seperti terlihat di jamuan makan malam Pangeran Henque dari Portugis, yang pada malam Natal tahun 1414 sebelum menyerang bangsa Moor. Pangeran Henrique menyediakan jamuan mewah untuk para bangsawan, mulai dari berbehel-behel anggur, manisan, gula dan buah-buahan sebagai jamuan supermewah dia menyediakan rempah-rempah, aroma dan cita rasa surga yang ditunggu para bangsawan.

Pada masa jarak setengah millenium, aroma rempah-rempah berarti aroma kebangsawanan. Sebagian besar pesonanya berasal dari sisi misteri dan keglamorannya, efek intens yang dihasilkan oleh imajinasi utopia. Rempah-rempah adalah lambang “kehidupan yang lebih baik”, suatu konsep yang terus diburu kaum bangsawan Eropa abad pertengahan lewat ritualnya, permadani dindingnya dan literatur dunia khayalnya.

Rempah-rempah memang dapat disederhanakan sebagai sarana pengukur prestise ekonomi belaka pada masa tersebut. Terlebih mitos komoditas ini diyakini mewakili sesuatu yang eksotis nan magis, yaitu aroma kesucian yang disukai para dewa.

Jauh sebelum adanya bukti rempah-rempah dikonsumsi, komoditas ini telah digunakan dalam laku religius maupun magis. Rempah-rempah umumnya dibakar dalam dupa atau dilemparkan begitu saja ke dalam api di perapian arang kuil selama proses ritual keagamaan. Ada juga yang menjadikan rempah-rempah ini sebagai bahan wewangian dan salep yang dioleskan kepada patung pemujaan.

Seperti dikatakan Turner bahwa paganisme pada dasarnya identik dengan bau-bauan. Selain di festival-festival besar, aroma rempah-rempah, dupa dan wewangian juga meresap ke dalam seluruh bagian ritual agama kuno layaknya agama masuk ke dalam kehidupan.

Selain dewa-dewa Pagan, tampaknya dewa-dewa Romawi juga menyukai rempah. Ketika Hercules dalam puisi Seneca berterima kasih kepada dewa-dewa atas kejayaannya, dia memerintahkan disiapkan persembahan terbaik bersama rempah-rempah India. Dalam hal ini tentu yang dimaksud adalah rempah-rempah Nusantara yang dibawa melalui India.

Cengkeh, pala, dan kayu cendana juga digunakan dalam beberapa persiapan upacara suci. Dalam risalah dijelaskan, cengkeh, pala, dan kapur barus (tanpa sirih) merupakan campuran bahan obat untuk menghilangkan bau mulut.

Rempah-rempah tidak saja bermanfaat bagi kepentingan ritual kuburan dan orang mati, tetapi juga digunakan untuk melindungi raga/jasad manusia yang masih hidup.

Dalam pola pikir abad pertengahan, rempah-rempah bermakna sama dengan obat-obatan. Ketika rempah-rempah menjadi cita rasa yang populer saat itu, lalu karakteristik dari aromanya mendapat beragama tanggapan. Semua orang sepakat bahwa baunya sensual, rempah-rempah berbau khas surgawi.

Hasrat untuk mendapatkan rempah-rempah dari negeri asalnya mendorong kalangan pemodal besar dan pihak kerajaan Spanyol dan Portugis untuk membiayai Christopher Columbus, Vasco da Gama dan Fernando Magelhans masing-masing dengan armadanya yang cukup besar. Di samping itu, bukan saja pedagang-pedagang Islam yang menguasai jaringan perdagangan rempah-rempah, tetapi juga terlibat di dalamnya pedagang Tiongkok, India, Melayu dan Yahudi.

Memang harus diakui, bahwa selama perjalanan rempah-rempah dari Timur ke Barat, para pedagang perantara yang berbeda budaya dan agama itu akan terus meningkatkan harga, sehingga setelah tiba di Eropa, harganya sudah mencapai 1000% bahkan lebih besar lagi. Dengan biaya semacam itu, timbul aura kemewahan, bahaya, jarak, dan profit yang berlipat ganda. 

Rempah-rempah yang dulu dikenal dengan asap suci yang melambangkan aroma Tuhan. Ditandai dengan pembakaran dupa bersama rempah atau pembalsaman mayat dengan aneka rempah perlahan mulai ditinggalkan oleh agama mayoritas.

Sumber : Jalur Rempah Kemdikbud

Editor: Donald Karouw

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut