Kisah Perjuangan Kapitan Pattimura, Sosok Cerdik dari Maluku Disegani Penjajah
JAKARTA, iNews.id - Kisah perjuangan Kapitan Pattimura dalam melawan penjajah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kapitan Pattimura atau Pattimura merupakan pahlawan Nasional Indonesia berasal dari Haria, Saparua, Maluku.
Nama Pattimura diabadikan menjadi nama Universitas, Bandara, bahkan menjadi gambar pada uang pecahan Rp1.000 yang pernah diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI).
Dikutip dari Kemendikbud, Kapitan Pattimura lahir pada 8 Juni 1783 di Saparua dengan nama asli Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia. Ayahnya bernama Frans Matulessy dan Ibunya bernama Fransina Silahoi.
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, dia pernah memiliki karier di bidang militer sebagai mantan sersan militer Inggris. Namanya dikenal karena memimpin perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda melalui perang Pattimura.
Lantas, bagaimana kisah perjuangannya? Berikut ini ulasan lengkapnya.
Kapitan Pattimura memperjuangkan Indonesia dengan melawan penjajahan Belanda ketika masuk ke tanah Maluku untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Salah satu pertempuran terbesar yang dipimpin olehnya bersama rakyat Maluku untuk merebut Benteng Duurstede dari tangan penjajah Belanda.
Pattimura meninggal dunia pada 16 Desember 1817 di usia 34 tahun karena tertangkap Belanda dan dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan. Pattimura dikenal cerdik dan mampu menghimpun kekuatan besar dari rakyat Maluku hingga mempersulit pergerakan Belanda untuk menyerang Maluku.
Bahkan, namanya disegani oleh para pemimpin VOC saat itu yang harus memutar otak untuk menghadapi perlawan rakyat Maluku. Tidak heran jika Pattimura berpangkat militer Inggris di Tanah Ambon.
Dikutip dari Kemendikbud, sejak abad ke-17 dan ke-18 berlangsung serentetan perlawanan bersenjata melawan VOC karena terjadi praktik penindasan kolonialisme Belanda dalam bentuk monopoli perdagangan, pelayaran hongi, kerja paksa dan sebagainya.
Penindasan tersebut dirasakan oleh semua sisi kehidupan rakyat maluku, baik segi sosial ekonomi, politis dan segi sosial psikologis. Selama 200 tahun rakyat Maluku mengalami perpecahan dan kemiskinan.
Rakyat Maluku memproduksi cengkeh dan pala untuk pasar dunia. Namun, mayoritas masyarakat tidak mendapatkan keuntungan dari sisi ekonomi yang dirasakan oleh mereka.
Alih-alih untuk bisa mendapatkan keuntungan, rakyat Maluku justru semakin menderita dengan adanya kebijakan seperti pajak yang berat berupa penyerahan wajib (Verplichte leverantie) dan contingenten serta blokade ekonomi yang mengisolasi para rakyat Maluku dari pedagang-pedagang Indonesia lain.
Saat pemerintah Belanda mulai melaksanakan kekuasaannya melalui Gubernur Van Middelkoop clan Residen Saparua Johannes Rudolf van der Berg, terjadilah perlawanan bersenjata dari rakyat Maluku. Kemudian diadakan musyawarah dan konsolidasi kekuatan di mana pada forum-forum tersebut menyetujui Pattimura sebagai kapten besar yang memimpin perlawanan tersebut.
Pada 7 Mei 1817 saat rapat umum Baileo negeri Haria, Thomas Matulessy dikukuhkan pada upacara adat sebagai “Kapitan Besar”. Setelah pelantikan, Pattimura memilih beberapa orang pembantu yang berjiwa kesatria di antaranya Anthoni Rhebok, Philips Latumahina, Lucas Selano, Arong Lisapaly, Melchior Kesaulya dan Sarasa Sanaky, Martha Christina Tiahahu dan Paulus Tiahahu. Pattimura bersama Philips Latumahina dan Lucas Selano melakukan penyerbuan ke benteng Duurstede.
Adanya berita tentang jatuhnya benteng Duurstede diterima oleh pasukan Pattimura dan pemusnahan orang-orang Belanda. Lalu informasi tersebut mengguncangkan dan membingungkan pemerintah Belanda di kota Ambon.
Pada 20 Mei 1817 diadakan rapat raksasa di Haia untuk pernyataan kebulatan tekad melawan Belanda. Peringatan tersebut dikenal dengan Proklamasi Porto Haria yang berisi pasal 14 pernyataan ditandatangani oleh 21 Raja Patih dari pulau Saparua dan Nusalaut
Pada 4 Juli 1817, armada kuat yang dipimpin oleh Oversete de Groot menuju ke pulau Saparua dengan tugas untuk menjalankan vandalisme. Pada 11 November 1817 didampingi oleh beberapa orang pengkhianat yaitu Letnan Pietersen yang berhasil menyergap Pattimura dan Philips Latumahina.
Para tokoh pejuang akhirnya ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantung pada 16 Desember 1817 di Ambon.
Jasa dan perjuangan Kapitan Pattimura sangat berdampak pada kemerdekaan Indonesia yang dirasakan hingga saat ini. Meski telah ratusan tahun berlalu, nama Pattimura tetap dikenal oleh Bangsa Indonesia hingga sekarang.
Pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Pattimura dengan harapan dapat menjadi teladan positif bagi generasi penerus Bangsa Indonesia.
Selain itu, pemerintah lokal kota Ambon juga mengapresiasi perjuangan mulia dari Kapitan Pattimura dengan membuat taman di tengah pusat Kota Ambon dengan patung Pattimura yang gagah berdiri di tengahnya yang diberi nama Taman Pattimura.
Demikian penjelasan mengenai kisah perjuangan Kapitan Pattimura untuk melawan penjajah dalam memperjuangkan Maluku.
Editor: Kurnia Illahi