JAKARTA, iNews.id - Ciri khas dan keunikan dari makanan Papeda menjadi daya tarik sebelum mencobanya. Makanan ini berasal dari masyarakat Papua, Maluku dan beberapa daerah di Sulawesi.
Papeda berbahan dasar tepung sagu. Makanan itu bertekstur menyerupai lem atau gel berwarna putih bening. Dalam bahasa Inanwatan atau bahasa Papua, papeda disebut dao.
Papeda merupakan jenis makanan yang kaya serat, rendah kolesterol dan cukup bernutrisi. Berikut penjelasan selengkapnya mengenai Papeda
Ciri Khas dan Keunikan dari Makanan Papeda
Ciri khas makanan yang satu ini terletak dari tekstur dan warnanya yang menyerupai lem, yaitu kenyal, berwarna putih dan lengket. Namun, bagi masyarakat Papua, Maluku dan sejumlah daerah di Sulawesi, papeda sudah dianggap sebagai pengganti nasi.
Warga setempat mengonsumsi papeda dengan makanan pendamping lainnya seperti ikan kuah kuning dan tumis sayur kangkung.
Ciri khas lain dari makanan ini, yaitu namanya karena papeda memiliki arti tersendiri merupakan Papua Penuh Damai. Arti ini merujuk semua keberagaman budaya dapat menjadi satu di Papua, sehingga tidak ada lagi konflik antarsuku adat.
Sehingga papeda menjadi simbol makna pemersatu masyarakat Papua. Selain itu juga terdapat keunikan dari Papeda ini antara lain.
Cara ambilnya digulung
Papeda memiliki tekstur seperti lem dan susah untuk dimakan menggunakan sendok, sehingga di adat Papua biasanya jika akan makan papeda ada alat untuk mengambil yang wajib digunakan yaitu hiloi, yaitu berupa garpu besar. Namun, garpu biasa juga sering digunakan di rumah tangga.
Filosofi di Meja Makan
Saat sekeluarga memakai lembar dan makan papeda dari satu hote yang serupa, saat itu papeda simpan arti yang dalam. Lembar, merupakan perlengkapan makan tradisional dari kayu untuk menyuguhkan papeda dan hote merupakan piring kayu untuk menyantap papeda.
Filosofinya, yaitu makan bersama keluarga menyimpan cerita untuk masa datang anak dan cucu. Acara makan bersama tersebut membuat ikatan kekerabatan sebagai ruangan dialog di antara ayah, ibu dan anak.
Ada Papeda Versi Lontong
Umumnya papeda berbentuk seperti bubur, namun ada juga papeda yang memiliki bentuk seperti lontong. Itu biasa dinamai papeda buntel.
Proses pembikinannya seperti papeda biasa. Sesudah masak, papeda dibuntel daun pisang atau daun fotovea (dengan bahasa Sentani disebutkan waibu).
Daun waibu ada di alam dalam dua variasi warna, yakni merah hati dan hijau. Daun pisang dan fotovea berperanan sebagai menambah wewangian, hingga papeda buntel menyebarkan wewangian yang unik.
Sinole, Papeda dengan Bumbu Kaldu
Biasanya Papeda hanya memiliki rasa yang hambar dan yang menambahkan rasa, yaitu lauk dan sayur yang menemaninya. Seperti nasi uduk yang berbumbu, papeda bisa juga dibumbui. Namun, jika sudah diberi bumbu namanya tidak lagi papeda, tetapi sinole.
Sebelum diolah, tepung sagu dikeringkan terlebih dulu dengan disangrai sampai bernau harum dan lebih ringan. Selanjutnya, sagu diolah dalam kaldu ikan atau kaldu daging yang telah dimasak selama 2-3 hari supaya rasanya intensif, sekalian terus diaduk-aduk sampai mengental.
Saat sinole sudah matang, bisa langsung dikonsumsi dan tidak perlu didampingi lauk, karena didalamnya telah ada beberapa potongan ikan.
Cara Membuat Papeda
Jika ingin membuat Papeda sendiri di rumah, berikut ini caranya. Saat sebelum diolah, rendam terlebih dahulu tepung sagu di air bersih sepanjang lebih kurang 15 menit, lalu mengambil pati yang terendap, campurkan bersama air untuk dibikin papeda. Teksturnya akan sama dengan papeda di Papua.
Sejarah Papeda
Dikutip dari indonesia.go.id, Papeda terkenal luas dalam masyarakat adat Sentani dan Abrab di Danau Sentani dan Arso, juga Manokwari. Makanan kenyal ini sering dihidangkan ketika acara-acara penting di wilayah Papua, Maluku, dan sekitarnya. Sehingga tak heran jika papeda menjadi salah satu warisan kuliner Nusantara yang khas.
Sebagai makanan tradisional yang khas, papeda menyimpan riwayat sejarah. Masyarakat adat Papua begitu menghormati sagu lebih dari sekadar makanan lezat. Suku-suku di Papua mengenal mitologi sagu dengan kisah penjelmaan manusia.
Oleh masyarakat Raja Ampat, sagu dianggap sebagai sesuatu yang begitu istimewa. Itulah sebabnya, saat memanen sagu mereka sering menggelar upacara khusus sebagai rasa syukur dan penghormatan untuk hasil panen (sagu) yang melimpah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan seluruh keluarga di sana.
Bubur papeda juga kerap kali muncul pada upacara adat Papua, yakni Watani Kame. Upacara tersebut dilakukan sebagai tanda berakhirnya siklus kematian seseorang. Nantinya, papeda dibagikan paling banyak kepada relasi yang sangat membantu pada upacara Watani Kame tersebut.
Di Inanwatan, papeda dengan daging babi juga menjadi makanan yang wajib disajikan saat upacara kelahiran anak pertama. Di daerah tersebut, papeda juga dimakan oleh wanita-wanita ketika proses pembuatan tato sebagai penahan rasa sakit.
Sedangkan di Pulau Seram, Maluku, Suku Nuaulu menyantap papeda atau di sana disebut sebagai sonar monne. Makanan tersebut telah disakralkan dalam ritual perayaan masa pubertas seorang gadis.
Selain itu, Suku Nuaulu dan Suku Huaulu juga melarang wanita yang sedang dalam masa haid dari memasak papeda karena menurut mereka proses merebus sagu menjadi papeda dianggap tabu.
Warisan kuliner asal Papua dan Maluku satu ini memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan tubuh. Selain kaya serat, papeda juga rendah kolesterol dan banyak nutrisi.
Papeda memiliki nutrisi esensial seperti protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi dan lain-lain. Bahkan, jika rutin mengonsumsi papeda dapat meningkatkan kekebalan dan daya tahan tubuh, serta mengurangi risiko terjadinya kanker usus, hingga membersihkan paru-paru.
Itulah penjelasan mengenai ciri khas dan keunikan dari makanan papeda.
Editor : Kurnia Illahi
Artikel Terkait